Kamis, 27 Mei 2010

Kebijakan Tentang Pangan

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
Pangan Harus Aman, Bermutu, dan Bergizi


Setiap insan membutuhkan pangan. Bagi sebagian orang, mampu mengonsumsi pangan secara teratur setiap hari 'untuk mengganjal perut' sudah merupakan kenikmatan. Apakah yang mereka konsumsi cukup untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh? Bagi mereka, ukuran cukup mungkin adalah kenyang, atau yang penting sudah makan.

Sementara itu dengan mudah kita dapat menjumpai kelompok masyarakat lain yang lebih beruntung, mampu, dan berkesempatan untuk memilah dan memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Mereka bisa mempertimbangkan faktor-faktor keamanan, mutu, dan gizi yang terkandung dalam pangan tersebut. Bahkan, ada dari antara mereka yang memilih karena alasan 'gengsi', pergaulan, kepuasan batin, dan alasan-alasan lain yang tidak terkait dengan fungsi utama pangan bagi tubuh.

Dengan demikian dasar pertimbangan untuk memilih pangan akan bervariasi tergantung keadaan ekonomi, pengetahuan dan kesadaran masing-masing orang tentang pangan. Mungkin ada yang mengutamakan keamanan, yang lain menyatakan keamanan, mutu dan gizi. Semuanya penting. Bahkan, saat ini berkembang iklim yang menempatkan pangan sekaligus sebagai pencegah atau obat berbagai penyakit.

Bagi pemerintah, pangan yang beredar harus aman, bermutu, dan bergizi. Karena pangan sangat penting bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang merugikan dan/atau membahayakan kesehatan.

Upaya untuk mewujudkan keadaan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Setelah melalui proses panjang yang melibatkan berbagai pihak peraturan ini menggariskan hal-hal yang diperlukan untuk mewujudkan pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.

Pada peraturan tersebut juga ditetapkan bahwa tanggung jawab dan hak setiap pihak yang berperan sebagai pilar pembangunan keamanan pangan adalah pemerintah, pelaku usaha pangan, dan masyarakat konsumen.

Seperti apakah pangan yang aman, bermutu dan bergizi? Uraian berikut menjelaskan beberapa hal yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Keamanan pangan
Beberapa indikator dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu pangan tidak aman. Tanda-tanda yang mudah ditemukan antara lain berbau busuk atau tengik, terdapat kotoran berupa kerikil, potongan kayu atau kaca atau terdapat belatung. Namun, masih ada bahan-bahan lain yang tidak kasat mata yang dapat menyebabkan pangan berbahaya bagi kesehatan, yaitu mikroorganisme misalnya virus atau bakteri serta racun yang dihasilkannya, yang mungkin terdapat pada sayuran, susu, kacang tanah, daging, ikan dan lain-lain. Kelompok mikroorganisme yang menyebabkan bahaya tersebut biasa disebut patogen.

Bahan lain yang juga berbahaya bagi kesehatan adalah pewarna, pengawet dan bahan tambahan lain dari jenis yang tidak diperuntukkan untuk pangan seperti formalin yang akhir-akhir ini menjadi isu di Indonesia. Namun demikian bahan tambahan dari jenis yang aman yang digolongkan sebagai bahan tambahan pangan juga dapat mengganggu kesehatan apabila digunakan sembarangan dan dengan takaran yang tidak sesuai.

Dalam pembahasan mengenai pangan, bahan-bahan yang berbahaya tersebut biasa dinamakan sebagai cemaran; dan dikelompokkan menjadi cemaran biologis seperti bakteri, cemaran kimia seperti formalin termasuk cemaran logam seperti air raksa dan cemaran fisik seperti batu, potongan kayu atau tulang.

Kriteria aman
Suatu pangan dikatakan aman apabila bebas dari bahaya yang ditimbulkan akibat dari keberadaan cemaran tersebut. Kata bebas dalam hal ini tidak selalu berarti sama dengan nol atau tidak ada sama sekali. Karena berbagai alasan beberapa bahan tersebut tidak dapat dihilangkan dengan seksama, namun melalui berbagai penelitian dan pengkajian nasional dan internasional ditetapkan standar atau batas maksimal keberadaan dari masing-masing bahan tersebut.

Umumnya standar atau batas maksimal tersebut ditetapkan dengan memperhatikan kesehatan manusia dan diatur secara spesifik untuk masing-masing jenis pangan. Dengan demikian setiap pangan harus memenuhi persyaratan keamanan yang ditetapkan agar tidak mengganggu, merugikan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Sanitasi sebagai upaya keamanan pangan

Cemaran biologis merupakan tantangan yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut tidak saja berkenaan dengan iklim tropis yang 'nyaman' bagi pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Tetapi, juga terkait dengan keterbatasan pengetahuan, sikap dan perilaku bersih masyarakat pada umumnya, baik konsumen maupun yang terlibat dalam pengolahan pangan. Salah satu upaya yang ditetapkan untuk mencapai keamanan pangan adalah pelaksanaan sanitasi pada setiap rantai pangan. Rantai pangan dimulai sejak penanaman hingga pemanenan dan penanganan pascapanen yang menghasilkan pangan segar. Selanjutnya adalah pengolahan pangan segar hingga menghasilkan pangan olahan yang siap dikonsumsi seperti mi instan, daging kaleng, dan biskuit.

Pengolahan pangan segar juga dapat menghasilkan pangan olahan lain yang merupakan bahan baku seperti terigu dan tepung telur. Mata rantai lainnya adalah pengangkutan, distribusi, dan pemasaran pangan. Mata rantai terakhir adalah penyiapan pangan sebelum dikonsumsi, baik di dapur masing-masing konsumen maupun di rumah makan umum seperti restoran, kafe, atau warung.

Persyaratan sanitasi
Tentang sanitasi tersebut, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan persyaratan tentang sanitasi pada fasilitas, terhadap pelaksanaan kegiatan, dan pekerja.

Persyaratan sanitasi dipenuhi melalui penerapan cara-cara yang baik. Yakni, Cara Budidaya Yang Baik (tanaman, peternakan, perikanan), Cara Produksi Pangan Segar Yang Baik (hasil pertanian, peternakan, perikanan), Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik, Cara Distribusi Pangan yang Baik, Cara Ritel Pangan Yang Baik, dan Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik. Untuk melaksanakan cara-cara tersebut pemerintah menyiapkan berbagai pedoman yang diperlukan, melakukan pembinaan, dan pengawasan yang diperlukan.

* Pedoman Cara Budidaya yang Baik disiapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau kehutanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing. Pedoman ini antara lain memuat tentang pemilihan lahan pertanian, pengendalian cemaran biologis, serta penyakit hewan dan tanaman yang mengancam keamanan pangan. Dalam pedoman tersebut juga ditekankan perihal meminimalkan residu kimia akibat penggunaan pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan, dan obat hewan.

* Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik mengatur tentang cara pencegahan kontaminasi pangan segar dari udara, tanah, air, pakan, pupuk, pestisida, obat hewan, serta pengendalian kesehatan hewan dan tanaman. Pedoman ini disiapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

* Menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian atau perikanan menyiapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik, yang antara lain menjelaskan tentang pencegahan kontaminasi, pemusnahan atau mencegah tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen, pengendalian proses, pemilihan bahan baku, bahan tambahan pangan, kemasan, dan penyimpanan serta pengangkutan.
Khusus untuk pangan olahan tertentu antara lain pangan untuk bayi, ibu hamil atau menyusui, dan yang menderita penyakit tertentu, pedoman tersebut disiapkan oleh badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan.

* Pangan yang telah diproduksi dengan cara-cara yang baik masih dapat mengalami kerusakan akibat penanganan yang tidak benar selama pengangkutan dan penyimpanan. Karena itu, pelaksanaan cara distribusi yang baik penting untuk dilaksanakan. Pedoman Cara Distribusi Pangan Yang Baik ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian, pertanian, atau perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing. Dalam pedoman ini dapat disimak hal-hal yang berkenaan dengan cara bongkar muat, pengendalian suhu, kelembaban dan tekanan udara selama distribusi dan penyimpanan serta sistem pencatatan untuk penelusuran distribusi pangan.

* Berapa jumlah tempat penjualan pangan saat ini? Mungkin tidak mudah untuk menghasilkan data tersebut. Tempat penjualan yang disediakan atau mendapat izin pemerintah dapat dihitung, termasuk pasar induk, pasar daerah, toko kelontong, toserba, supermarket, dan hypermarket. Namun tidak kalah banyaknya tersebar warung, kios, pasar 'kaget' yang pengaturannya 'suka-suka'.
Selama dalam proses penjualan, kontaminasi silang sangat mungkin terjadi antara pangan dengan bahan bukan pangan atau pangan yang siap dikonsumsi dengan pangan yang masih mentah, apabila prinsip-prinsip keamanan pangan tidak menjadi perhatian.

* Dalam Pedoman Cara Ritel Pangan Yang Baik yang disiapkan oleh badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan, diatur tentang cara penempatan pangan pada rak penyimpanan dan lemari gerai, pengendalian stok penerimaan dan penjualan, rotasi stok sesuai tanggal kedaluwarsa, dan pengendalian lingkungan terutama suhu, kelembaban, dan tekanan udara.
Berbicara tentang pangan siap saji, meskipun tidak dapat ditunjukkan dengan data kuantitaf, namun dapat dipastikan semakin banyak masyarakat yang menggantungkan pemenuhan kebutuhannya pada berbagai pangan siap saji yang tersedia. Mulai dari gerobak dorong, 'warteg' hingga restoran mewah dapat menyediakan sarapan pagi, makanan siang dan makanan malam yang dibutuhkan.

* Untuk menghindari gangguan kesehatan, terutama diare sehubungan dengan mengkonsumsi pangan siap saji, maka pada Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji Yang Baik diatur tentang cara pencegahan kontaminasi, pemusnahan dan pencegahan mikroorganisme patogen, pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, cara pengolahan, penyimpanan dan penyajian yang benar. Pedoman tersebut ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Penyediaan dan kebutuhan bahan tambahan pangan tidak terlepas dari upaya untuk memenuhi keinginan dan harapan konsumen akan karakteristik suatu pangan. Dalam proses kerjanya bahan tambahan pangan tersebut dapat mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Dengan bahan pengawet, misalnya, keju yang dihasilkan di negara lain dapat bertahan selama beberapa waktu untuk dinikmati di Indonesia. Demikian juga dengan daging kaleng yang diproduksi di kota tertentu di Pulau Jawa dan membutuhkan masa perjalanan dapat dinikmati masyarakat di kota-kota lain yang tidak memproduksi daging kaleng.

Dengan antioksidan margarin tidak cepat tengik. Selain itu, warna, rasa dan aroma pangan juga dapat diperbaiki atau dipertegas dengan adanya bahan tambahan pangan dan masih banyak peranan lain dari bahan tambahan pangan yang bermanfaat. Bagi penderita diabetes kehadiran pemanis buatan memberikan peluang bagi mereka untuk mengonsumsi pangan yang mereka sukai.

Namun, karena ketidaktahuan para pelaku usaha, beberapa bahan yang tidak diperuntukkan untuk pangan digunakan untuk pangan. Misalnya, pewarna tekstil dan formalin. Ada juga karena 'sengaja' dengan alasan ekonomis dan praktis.
Memang bahaya terhadap kesehatan yang ditimbulkan tidak segera terlihat sebagaimana bahaya akibat bakteri namun dalam jangka panjang dapat berakibat fatal. Untuk menghindari penggunaan bahan-bahan yang dilarang tersebut dan untuk memastikan penggunaan bahan tambahan pangan secara benar pemerintah, dalam hal ini instansi yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan, batas maksimum penggunaan, dan jenis pangan yang dapat menggunakan bahan tersebut.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
P A N G A N


Ayat (2)
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai risiko terhadap ke sehatan manusia dapat dibenarkan karena hal tersebut memang lazim dilakukan. Namun, penggunaan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan atau penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut.
Bahan tambahan pangan yang dilarang antara lain asam borat (boric acid) dan senyawanya, sedangkan bahan tambahan pangan yang dibolehkan dengan ambang batas maksimal, antara lain, siklamat.

Pasal 11
Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah bahan tersebut aman bagi atau tidak merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, juga diperiksa dosis penggunaan untuk menentukan ambang batas maksimal penggunaan bahan tersebut sehingga dapat dinyatakan aman dan tidak merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)

"Bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses produksi pangan. Bahan baku dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi.
"Bahan bantu lain" adalah bahan yang tidak termasuk dalam pengertian baik bahan baku maupun bahan tambahan pangan dan berfungsi untuk membantu mempercepat atau memperlambat proses rekayasa genetika.

Ayat (2)
Prinsip penelitian dalam ruang lingkup rekayasa genetika merupakan hal yang sangat spesifik dan mempunyai dampak terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat sehingga perlu pengaturan oleh Pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin merugikan masyarakat.

Pasal 14
Ayat (1)

Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi dan penyimpanan pangan hanya dapat diselenggarakan berdasarkan izin Pemerintah karena dampak iradiasi pangan dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.

Ayat (2)
Mekanisme perizinan yang akan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, antara lain, mencakup persyaratan:
a. pemberian izin yang menyangkut sarana dan prasarana serta manajemen dan mekanisme pengawasan;
b. kesehatan dan keamanan karyawan;
c. pelestarian lingkungan;
d. pengangkutan bahan-bahan yang mengandung zat radioaktif;
e. pembuangan dan pengolahan limbah yang mengandung zat radioaktif; dan
f. mekanisme penanggulangan bencana.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ini mewajibkan setiap orang yang mem produksi pangan yang akan diedarkan untuk melaku kan pengemasan atau melaksanakan tata cara pengemasan secara benar sehingga dapat dihindari terjadinya pencemaran terhadap pangan.
Benar tidaknya pengemasan yang dilakukan atau tata cara pengemasan yang dilaksanakan, antara lain, dapat diukur dari tingkat kehati-hatian yang diterapkan pada saat melakukan pengemasan, jenis komoditas pangan yang dikemas, perlakuan khusus yang diperlukan bagi pangan tersebut, serta kebutuhan untuk melindungi kemungkinan tercemarnya pangan sejak proses produksi sampai dengan siap dikonsumsi.

Ayat (3)
Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan dan berwenang memberlakukan serta mewajibkan pemenuhan persyaratan atau tata cara tertentu dalam rangka pengemasan pangan tersebut. Misalnya, pangan yang memiliki kadar lemak tinggi dan bersuhu tinggi tidak boleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik karena dapat memberikan peluang lepasnya monomer plastik yang bersifat karsinogenik ke dalam pangan dan mencemarinya.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kemasan akhir pangan" adalah kemasan final terhadap produk pangan yang lazim dilakukan pada tahap akhir proses atau kegiatan produksi yang siap diperdagangkan bagi konsumsi manusia.
Ketentuan ini bersifat preventif karena tidak jarang suatu produk pangan tercemar oleh bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia karena tindakan pengemasan kembali tersebut.

Ayat (2)
Pengadaan pangan dalam jumlah besar yang lazimnya tidak dikemas secara final dan dimaksudkan untuk diperdagangkan (diecer) lebih lanjut dalam kemasan yang lebih kecil tidak tunduk pada ketentuan ayat (1). Kelaziman tersebut disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku bagi komoditas pangan yang bersangkutan atau kebiasaan masyarakat setempat.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)

Sistem jaminan mutu merupakan upaya pencegahan yang perlu diperhatikan dan atau dilaksanakan dalam rangka menghasilkan pangan yang aman bagi kesehatan manusia dan bermutu, yang lazimnya diselenggarakan sejak awal kegiatan produksi pangan sampai dengan siap untuk diperdagangkan, dan merupakan sistem pengawasan dan pengendalian mutu yang selalu berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ayat (2)
Di samping sistem jaminan mutu yang diseleng garakan sendiri oleh setiap orang yang memproduksi pangan, maka upaya mewujudkan ketersediaan pangan yang aman dapat ditempuh melalui pengujian secara laboratoris atas pangan yang diproduksi. Persyaratan pemeriksaan laboratorium ini terutama diperuntukkan bagi pangan tertentu yang diperdagangkan, yang akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Ayat (3)
Laboratorium yang melaksanakan pengujian dimaksud harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan dan melaksanakan pengujian berdasarkan tata cara yang telah dibakukan.
Ketentuan ini memberi kemungkinan bagi laboratorium-laboratorium yang bukan milik Pemerintah untuk melakukan pengujian itu. Misalnya, laboratorium milik setiap orang yang memproduksi pangan, atau yang merupakan bagian dari sistem jaminan mutu yang diterapkan, atau laboratorium milik pihak ketiga selama laboratorium tersebut telah diperiksa kelaikannya dan memperoleh akreditasi dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab, baik secara teknis perlengkapan laboratorium tersebut maupun berkenaan dengan pemenuhan persyaratan lain berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ditetapkan dan diterapkan secara bertahap" adalah pelaksanaan persyaratan jaminan mutu dan pengujian secara laboratoris disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, antara lain, untuk proses produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Penerapan persyaratan ini dilakukan secara bertahap, sesuai dengan perkembangan sistem pangan serta kesiapan peraturan pelaksanaan yang dikaitkan pula dengan pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan, khususnya pengusaha menengah dan kecil, termasuk pengusaha pangan olahan informal dan tradisional.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21
Huruf a

Yang dimaksud dengan "merugikan kesehatan" adalah dampak yang timbul akibat adanya bahan beracun atau bahan lain dalam tubuh yang dapat mengganggu penyerapan senyawa atau zat gizi ke dalam darah, tetapi tidak membahayakan kesehatan. Yang dimaksud dengan "membahayakan kesehatan" adalah dampak yang timbul akibat adanya bahan beracun atau berbahaya seperti residu pestisida, mikotoksin, logam berat, hormon, dan obat-obatan hewan.

Huruf b
Cukup jelas

BAB II
KEAMANAN PANGAN
Bagian Pertama
Sanitasi Pangan


Pasal 4
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

Pasal 5
(1) Sarana dan atau prasarana yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan serta penggunaan sarana dan prasarana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan persyaratan sanitasi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
P A N G A N


Pasal 6
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib:
a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia;
b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; dan
c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi.

Pasal 7
Orang perseorangan yang menangani secara langsung dan atau berada langsung dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.

Pasal 8
Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

Pasal 9
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 10
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 11
Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.

Pasal 12
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan

Pasal 13
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

Pasal 14
(1) Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan berdasarkan izin Pemerintah.

(2) Proses perizinan penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi pangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau metode iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan.

Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Kemasan Pangan
Pasal 16

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.

(2) Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.

(3) Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan.

Pasal 17
Bahan yang akan digunakan sebagai kemasan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya bagi pangan yang diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.

Pasal 19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium
Pasal 20

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Peme rintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya.

(3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.

(4) Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pangan Tercemar
Pasal 21

Setiap orang dilarang mengedarkan:
a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;
e. pangan yang sudah kedaluwarsa.

Pasal 22
Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan, Pemerintah:
a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan;

b. mengatur dan atau menetapkan persyaratan bagi peng gunaan cara, metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia;

c. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam mem produksi peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian pangan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
P A N G A N

Pasal 23
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
MUTU DAN GIZI PANGAN
Bagian Pertama
Mutu Pangan
Pasal 24

(1) Pemerintah menetapkan standar mutu pangan.
(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 25
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan.
(2) Persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterapkan secara bertahap berdasarkan jenis pangan dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

Pasal 26
Setiap orang dilarang memperdagangkan:
a. pangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), apabila tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya;
b. pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan;
c. pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Bagian Kedua
Gizi Pangan
Pasal 27

(1) Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi bagi perbaikan status gizi masyarakat.
(2) Untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan khusus mengenai komposisi pangan.
(3) Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan persyarat an bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan.
(4) Setiap orang yang memproduksi pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), wajib memenuhi persyaratan tentang gizi yang ditetapkan.

Pasal 28
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.
(2) Pangan olahan tertentu serta tata cara pengolahan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 29
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
LABEL DAN IKLAN PANGAN
Pasal 30

(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e. keterangan tentang halal; dan
f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.
(3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan..

Pasal 31
(1) Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, ditulis atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat.
(2) Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin.
(3) Penggunaan istilah asing, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya, atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri.

Pasal 32
Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan.

Pasal 33
(1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau per nyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.
(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.

Pasal 34
(1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
(2) Label tentang pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi, anak berumur di bawah lima tahun, dan ibu yang sedang hamil atau menyusui wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap kesehatan manusia.

Pasal 35
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA
Pasal 36

(1) Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 37
Terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bahwa:
a. pangan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
b. pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan atau
c. pangan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya.

Pasal 38
Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan.

Pasal 39
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan label, dan atau gizi pangan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
P A N G A N
Pasal 40

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
TANGGUNG JAWAB INDUSTRI PANGAN
Pasal 41

(1) Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut.
(2) Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.
(4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.
(5) Besarnya ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setinggi-tingginya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan.

Pasal 42
Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) tidak diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia, ketentuan dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (5) diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.

Pasal 43
(1) Dalam hal kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit, Pemerintah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
(2) Gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan untuk kepentingan orang yang mengalami kerugian dan atau musibah.

Pasal 44
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETAHANAN PANGAN
Pasal 45

(1) Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan.
(2) Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Pasal 46
Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pemerintah:
a. menyelenggarakan, membina, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional;
b. menyelenggarakan, mengatur, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan dalam rangka penyediaan, pengadaan, dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok;
c. menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan;
d. mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan.

Pasal 47
(1) Cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, terdiri atas:
a. cadangan pangan Pemerintah;
b. cadangan pangan masyarakat.
(2) Cadangan pangan Pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan pangan, serta dengan meng antisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat.
(2) Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a. mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat perdesaan, perkotaan, propinsi, dan nasional;
b. mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional.
Pasal 48
Untuk mencegah dan atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut.

Pasal 49
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya:
a. pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
b. untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;
c. untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan;
d. untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan teknologi di bidang pangan;
e. penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan;
f. pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional;
g. untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Pasal 50
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 51

Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perse orangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Pasal 52
Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan.

BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 53

(1) Untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berwenang:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengang kutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan menegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;
d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain sejenis.
(3) Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
P A N G A N
Pasal 54

(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 55

Barangsiapa dengan sengaja:
a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e;
e. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang diwajibkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a;
f. memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b;
g. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c;
h. mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan, sebagai mana dimaksud dalam Pasal 32; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56
Barangsiapa karena kelalaiannya:
a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e; dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).

Pasal 57
Ancaman pidana atas pelanggaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta Pasal 56, ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiga apabila menimbulkan kematian.

Pasal 58
Barangsiapa:
a. menggunakan suatu bahan sebagai bahan tambahan pangan dan mengedarkan pangan tersebut secara berten tangan dengan ketentuan dalam Pasal 11;
b. mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika, tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
c. menggunakan iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);
d. menggunakan suatu bahan sebagai kemasan pangan untuk diedarkan secara bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 17;
e. membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan memperdagangkannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
f. mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan tanpa lebih dahulu diuji secara laboratoris, sebagaimana dimak sud dalam Pasal 20 ayat (2);
g. memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratan tentang gizi pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4);
h. memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31;
i. memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diper dagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2);
j. memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);
k. memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2);
l. menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).

Pasal 59
Barangsiapa:
a. tidak meyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia, atau tidak menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala, atau tidak menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
b. tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3);
d. tidak menyelenggarakan sistem jaminan mutu yang ditetapkan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);
e. tidak memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2); meskipun telah diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta rupiah).

BAB XI
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 60

(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang pangan kepada Pemerintah Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas pembantuan di bidang pangan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 61

(1) Dalam hal terjadi keadaan kekurangan pangan yang sangat mendesak, Pemerintah dapat mengesampingkan untuk sementara waktu ketentuan Undang-undang ini tentang persyaratan keamanan pangan, label, mutu, dan atau persyaratan gizi pangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap memperhatikan keselamatan dan terjaminnya kesehatan masyarakat.

Pasal 62
Bilamana dipandang perlu, Pemerintah dapat menunjuk instansi untuk mengkoordinasikan terlaksananya Undang-undang ini.

Pasal 63
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya tidak berlaku bagi pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh kalangan rumah tangga.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan tentang pangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Nopember 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
t t d
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Nopember 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
t t d
M O E R D I O N O


PERATURAN
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 04/M-DAG/PER/2/2006
TENTANG
DlSTRIBUSI DAN PENGAWASAN BAHAN BERBAHAYA


DENGAN RAHMA T TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa Bahan Berbahaya memiliki manfaat yang sangat penting, apabila digunakan untuk kebutuhan tertentu sesuai peruntukannya;
b. bahwa peredaran dan penggunaan Bahan Berbahaya terus meningkat, baik jenis maupun jumlahnya serta mudah diperoleh di pasaran, sehingga dapat terjadi penyalahgunaan peruntukannya;
c. bahwa sebagai upaya mencegah penyalahgunaan, perlu pengaturan distribusi dan pengawasan Bahan Berbahaya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;

Mengingat:
1. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1938 Nomor 86);
2. Ordonnantie Bahan-bahan Kimia Berbahaya Stbl. 1949 Nomor 377;
3. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, Penindakan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 801), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Repub,lik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3656);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42" Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
9. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomqr 3878);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3867);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4126);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4153);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424);
15. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Safety of Ufe at Sea 1974;
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya;
17. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/4/1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan Industri;
18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/ 1X/1988 jo. Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan;
19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan;
20. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000 tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu;
21. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 634/MPP/l'<:ep/9/2002 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa Yang Beredar di Pasar;
22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga;
23. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/ 3/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perdagangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/12/2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG DISTRIBUSI DAN PENGAWASAN BAHAN BERBAHAYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bahan Berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
2. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
3. Produsen Bahan Berbahaya (P-B2) adalah perusahaan yang memproduksi Bahan Berbahaya di dalam negeri dan mempunyai Izin Usaha Industri dari Instansi yang berwenang.
4. Importir Terdaftar Bahan Berbahaya (IT-B2) adalah Importir bukan produsen, pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U), yang mendapat tugas khusus untuk mengimpor Bahan Berbahaya dan bertindak sebagai distributor untuk menyalurkan Bahan Berbahaya yang diimpornya, kepada perusahaan lain yang membutuhkan yang dalam hal ini adalah pengguna Akhir Bahan Berbahaya.
5. Importir Produsen Bahan Berbahaya (IP-B2) adalah Impotir Produsen yang diakui oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan disetujui untuk mengimpor sendiri Bahan Berbahaya yang diperuntukkan semata-mata hanya untuk kebutuhan produksinya sendiri.
6. Distributor Terdaftar Bahan Berbahaya (DT-B2) adalah perusahaan yang diberi izin oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan setelah mendapat penunjukan dari Produsen Bahan Berbahaya untuk menyalurkan Bahan Berbahaya kepada Pengguna Akhir secara langsung atau melalui Pengecer Terdaftar.
7. Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya (PT-B2) adalah perusahaan yang diberi izin oleh Gubernur, Gubernur DKI Jakarta, atau Bupati/Walikota setelah mendapat penunjukan dari DT-B2 untuk memperdagangkan Bahan Berbahaya kepada PA-B2.
8. Pengguna Akhir Bahan Berbahaya (PA-B2) adalah perusahaan industri yang menggunakan Bahan Berbahaya sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga, terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta mempunyai nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan Bahan Berbahaya sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang.
9. Distribusi adalah peredaran Bahan Berbahaya dari PB-2 kepada PA-B2 atau kepada DT-B2, atau dari IT-B2 kepada PA-B2, atau dari DT-B2 kepada PA-B2, dan PT-B2, atau dari PT-B2 kepada PA-B2.
10. Pengawasan adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk mengendalikan distribusi Bahan Berbahaya.
11. Tim Pemeriksa adalah tim: yang melakukan kegiatan pemeriksaan atas kebenaran dan keberadaan fis.ik tempat penyimpanan fasilitas pengemas ulang (repacking) dan alat transportasi yang digunakan oleh Distributor Terdaftar untuk melakukan kegiatan distribusi Bahan Berbahaya.
12. Nomor CAS (Chemical Abstract Service) adalah sistem indeks atau registrasi senyawa kimia yang diadopsi secara internasional. sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi setiap senyawa kimia secara spesifik.
13. Lembar Data Keamanan (LDK)/Safety Data Sheet (SDS) adalah lembar petunjuk yang berisi informasi bahan berbahaya tentang sifat fisika, kimia, jenis bahaya yang ditimbulkan. cara penanganan, dan tindakan khusus dalam keadaan darurat.
14. Label adalah setiap keterangan mengenai Bahan Berbahaya yang berbentuk gambar, tulisan, atau kombinasi keduanya atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Bahan Berbahaya dan keterangan Pelaku Usaha serta informasi lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang disertakan pada produk, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada atau merupakan bagian kemasan.
15. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Bahan Berbahaya, baik yang bersentuhan langsung dengan Bahan Berbahaya maupun tidak.
16. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang perdagangan.





BAB II

JENIS BAHAN BERBAHAYA

Pasal 2


(1) Jenis Bahan Berbahaya yang diatur distribusi dan pengawasannya dalam Peraturan ini antara lain Formalin, Boraks, Kuning Metanil, Rodamin-B, dan Bahan Berbahaya lainnya dengan Nomor CAS sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini.
(2) Pengaturan distribusi dan pengawasan untuk Bahan Berbahaya selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, tetapi mempunyai Nomor CAS yang sama harus mengikuti Ketentuan dalam Peraturan ini.
(3) Jenis Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berasal dari produksi dalam negeri dan/atau produk impor.

BAB III

DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA

Pasal 3


(1) Distribusi Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh P-B2, IT-B2, IP-B2, OT-B2, dan PT-B2.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dalam mendistribusikan Bahan Berbahaya wajib memenuhi ketentuan pengaturan distribusi sebagai berikut:
a. P-B2 mendistribusikan Bahan Berbahaya secara langsung hanya kepada PA-B2 atau melalui DT-B2;
b. IT-B2 selaku Distributor hanya berhak mendistribusikan Bahan Berbahaya secara langsung kepada PA-B2;
c. IP-B2 mendistribusikan Bahan Berbahaya hanya untuk proses produksinya sendiri;
d. DT-B2 mendistribusikan Bahan Berbahaya hanya kepada PA-B2 atau melalui PT-B2; dan
e. PT-B2 hanya berhak mendistribusikan Bahan Berbahaya secara langsung kepada PA-B2.


Pasal 4

(1) Pendistribusian Bahan Berbahaya oleh IT-B2 atau oleh DT-B2 wajib dilengkapi dengan LDK/SDS sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini.
(2) Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikemas dengan , menggunakan kemasan berdasarkan ketentuan yang berlaku serta persyaratan International Maritime Dangerous Goods Code (IMDG Code/ United Nation Standard).
(3) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencantumkan label yang memuat nama/jenis Bahan Berbahaya, nama dan alamat P-B2 atau DT-B2 yang mengemas, berat /volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini.

Pasal 5

(1) Bahan Berbahaya yang didistribusikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), menggunakan kemasan sekurang-kurangnya dengan ukuran sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini.
(2) Pengemasan ulang (repacking) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan hanya dilakukan oleh DT-B2.

BAB IV
PERIZINAN

Pasal 6


(1) Distributor dan Pengecer Bahan Berbahaya wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2).
(2) Menteri memiliki kewenangan penerbitan SIUP-B2.
(3) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan SIUP-B2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada:
a. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Oepartemen Perdagangan untuk OT-B2;
b. Gubernur untuk PT-B2 setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota; dan
c. Gubernur DKI Jakarta untuk PT-B2 setelah mendapat rekomendasi dari Walikota.
(4) Gubernur/Gubernur DKI Jakarta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c, melimpahkan kewenangan pemberian izin kepada Kepala Unit Kerja yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Perdagangan.
(5) Penerbitan SIUP-B2 selambat-Iambatnya 5 (lima) hari kerja setelah persyaratan dipenuhi.
(6) SIUP-B2 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, sekurang¬ sekurangnya 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya SIUP-B2.

Pasal 7

(1) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagai DT-B2 sebagai berikut:
a. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas;
b. berpengalaman sebagai Distributor Bahan Berbahaya minimal 3 (tiga) tahun dan telah menunjukan kinerja distribusi yang baik sesuai dengan penilaian dari Produsen;
c. memiliki atau menguasai sarana untuk kelancaran pelaksanaan distribusi Bahan Berbahaya berupa tempat penyimpanan, fasilitas pengemasan ulang (repacking), dan alat transportasi yang memenuhi syarat keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup, yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan Fisik oleh Tim Pemeriksa;
d. memiliki peralatan Sistem Tanggap Darurat dan Tenaga Ahli di Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya;
e. memenuhi syarat-syarat umum untuk melakukan perdagangan seperti SIUP, TDP, SITU/lziri Gangguan. (HO), dan NPWP;
f. rekomendasi dari Gubernur/Gubernur DKI Jakarta; dan
g. penunjukan dari P-B2.
(2) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagai PT -B2, sebagai berikut:
a. berbentuk badan usaha;
b. berpengalaman sebagai pengecer Bahan Berbahaya minimal 2 (dua) tahun;
c. memiliki fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan hidup yang dibuktikan dengan Serita Acara Pemeriksaan Fisik oleh Tim Pemeriksa;
d. memenuhi syarat-syarat umum untuk melakukan perdagangan seperti SIUP, TDP, SITU/lzin Gangguan (HO), dan NPWP;
e. penunjukan dari hanya 1 (satu) DT-B2; dan
f. rekomendasi dari BupatilWalikota.
(3) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri dari :
a. Tingkat Pusat, meliputi unsur Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan; Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian dan Instansi Teknis lain sesuai kebutuhan, yang dibentuk,oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan;
b. Tingkat Propinsi, meliputi unsur Dinas Kesehatan, Balai/Balai Besar Pengawas Obat Makanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Dinas Pertanian, dan Dinas Teknis lain sesuai kebutuhan yang dibentuk oleh Gubernur/Gubernur DKI Jakarta.

(4) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dikoordin'asikan oleh Oirektorat Jenderal Perdagangan Oalam Negeri cq. Direktorat Perlindungan Konsumen, Oepartemen Perdagangan dan ayat (3) huruf b dikoordinasikan oleh Gubernur/Gubernur OKI Jakarta cq. Oinas yang membidangi perdagangan.
(5) Formulir Permohonan Suratlzin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP¬ 82) sebagaimanatercantum dalam Lampiran IV. ¬
(6) Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2) sebagai DT-B2 dan PT-B2, sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.





BAB V
PELAPORAN

Pasal 8


(1) DT-82 wajib menyampaikan laporan mengenai perolehan Bahan Berbahaya dari P-B2 dan pendistribusiannya kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktur Bina Pasar dan Distribusi, Departemen Perdagangan ¬ dengan tembusan kepada Gubernur DKI Jakarta/Gubernur propinsi setempat, setiap 3 (tiga) bulan pada minggu pertama bulan April, Juli, Oktober, dan Januari dengan mengacu kepada bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI.
(2) PT-B2 wajib menyampaikan laporan mengenai-data Bahan Berbahaya yang didistribusikannya kepada Gubernur DKI Jakarta/Gubernur propinsi setempat dengan tembusan kepada Bupati/Walikota setiap 3 (tiga) bulan pada minggu pertama bulan April, Juli, Oktober, dan Januari dengan mengacu kepada bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII.
(3) PA-B2 wajib menyampaikan laporan mengenai data perolehan Bahan Berbahaya kepada BupatilWalikota dengan tembusan kepada Gubernur OKI Jakarta/Gubernur propinsi setempat dengan mengacu kepada bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII.
(4) Kewajiban pelaporan bagi PA-82 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk perusahaa industri yang menggunakan Bahan Berbahaya sebagai bahan baku/penolong bagi kegiatan industrinya.

Pasal 9

Laporan Pendistribusian Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, untuk:
a. DT-B2 sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan alamat PT-B2 dan/atau PA-B2;
2) jenis dan Nomor CAS Bahan Berbahaya;
3) berat atau volume netto Bahan Berbahaya;
4) stok awal dan stok akhir; ¬
5) waktu penjualan Bahan Berbahaya (tanggal, bulan, tahun);dan
6) nama dan alamat P-B2 yang mendistribusikan Bahan Berbahaya.
b. PT-B2 sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan alamat pA-B2;
2) jenis dan Nomor CAS Bahan Berbahaya;
3) berat atau volume netto Bahan Berbahaya;
4) waktu penjualan Bahan Berbahaya (tanggal, bulan, tahun);dan
5) nama dan alamat DT-B2 yang mendistribusikan Bahan Berbahaya.
c. PA-B2 sekurang-kurangnya memuat:
1) jenis dan berat atau volume nella Bahan Berbahaya yang dibeli dan peruntukannya;
2) stok awal dan stok akhir;
3) waktu pembelian Bahan Berbahaya (tanggal, bulan, tahun);dan
4) nama dan ala mat P-B2/DT-B2/PT-B2 yang mendistribusikan Bahan Berbahaya.

Pasal 10

(1) Dalam hal DT-B2, PT-B2, dan PA-B2 menghentikan kegiatan usahanya, wajib melaporkan posisi stok Bahan Berbahaya kepada :
a. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan untuk DT-B2;
b. Gubernur untuk PT-B2 dan PA-B2 yang berdomisili di luar DOKI Jakarta; dan
c. Gubernur DKI Jakarta untuk PT-B2 dan PA-B2 yang berdomisili di DKI Jakarta.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-¬lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak kegiatan usahanya dihentikan yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan Penghentian Kegiatan Usaha oleh yang bersangkutan.

BAB VI
LARANGAN

Pasal 11


(1) Pelaku usaha atau perorangan yang tidak memiliki izin atau tidak berhak memperdagangkan Bahan Berbahaya, dilarang untuk :
a. mengedarkan atau memperdagangkan Bahan Berbahaya; dan/atau
b. mengemas kembali Bahan Berbahaya dari kemasan aslinya.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan Bahan Berbahaya di luar peruntukannya, termasuk untuk pangan dan kosmetik.


Pasal 12

(1) IP-B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilarang mendistribusikan Bahan Berbahaya kepada siapapun.
(2) PT-B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e dilarang menerima pasokan Bahan Beroahaya lebih dari 1 (satu) DT-B2.
(3) PA-B2 dilarang mendistribusikan atau memindahtangankan Bahan Berbahaya kepada siapapun.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 13

(1) Pembinaan terhadap IP-B2, 'T-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan Bahan Berbahaya dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/Instansi Teknis terkait.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. pendistribusian Bahan Berbahaya secara benar sesuai ketentuan yang berlaku; dan
b. penyimpanan, pengemasan, serta pemberian penandaan atau label pada barang berbahaya yang didistribusikan di semua Uni untuk memenuhi aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

Pasal 14

(1) Pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan Bahan Berbahaya dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2, dan PA-B2.
(2) Pengawasan terhadap distribusi Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis, jumlah yang didistribusikan, dan jumlah stok yang dikuasai oleh :
a. IT-B2 selaku DT-B2 sampai kepada PA-B2 dilakukan mulai dari gudang IT¬-B2 sampaidengan Bahan Berbahaya berada di tangan PA-B2;
b. DT-B2 yang berasal dari P-B2 sampai kepada PA-B2 dan PT-B2, dilakukan mulai dari dalam gudang DT-B2 sampat dengan Bahan Berbahaya berada ditangan PA-B2 dan PT-B2; dan
c. PT-B2 sampai kepada PA-B2.

Pasal 15

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 di Tingkat Pusat, dilakukan oleh Pegawai/pejabat Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq. Direktorat pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Departemen Perdagangan dan di Tingkat Daerah dilakukan oleh pegawai/pejabat Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota dan/atau bersama Instansi Teknis terkait.
(2) Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai/Pejabat sebagaimana dimaksud pad ayat (1) harus dilengkapi surat tugas yang diterbitkan oleh Pejabat berwenang dalam waktu tertentu.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan untuk Pegawai/Pejabat Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri;
b. Gubernur/Gubernur DKI Jakarta untuk Pegawai/pejabat Dinas Propinsi;
c. Bupati/Walikota untuk pegawai/pejabat Oaerah Kabupaten/Kota; dan
d. Pimpinan Instansi terkait yang membawahi Pegawai/Pejabat yang melakukan pengawasan terhadap Bahan Berbahaya.
(4) IP-B2, IT-B2, OT-B2, PT-B2, dan PA-B2 wajib memberikan akses yang seluas--luasnya mengenai kebenaran pendistribusian Bahan Berbahaya kepada Pejabat/pegawai yang melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat(1).

Pasal 16

(1) Pegawai/pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) menyampaikan hasil pengawasan kepada Pejabat yang berwenang menugaskan.
(2) Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan bukti awal dugaan terjadinya tindak pidana, Pegawai/pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera menyerahkan temuan kepada penyidik POLRI dilengkapi dengan surat pengantar dari Pejabat yang berwenang.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 17


(1) IT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) IP-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, dan Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) DT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 5 ayat (2), serta Pasal 6 ayat (1 ) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang¬ undangan yang berlaku.
(4) PT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) PA-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 12 ayat (3) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Pelaku usaha atau perorangan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam. Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(7) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang¬-undangan yang berlaku.

Pasal 18

(1) Bahan berbahaya yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau Pasal11, wajib ditarik dari peredaran.
(2) Penarikan Bahan Berbahaya dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperintahkan oleh Pejabat yang berwenang dan pelaksanaan penarikan dilakukan oleh Pelaku Usaha yang bersangkutan.
(3) Biaya penarikan Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Pelaku Usaha yang bersangkutan.

Pasal 19

(1) IP-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4), dikenakan sanksi administratif.
(2) IT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4), dikenakan sanksi administratif.
(3) DT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 15 ayat (4) dikenakan sanksi administratif.
(4) PT-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal15 ayat (4) dikenakan sanksi administratif.
(5) PA-B2 yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 10 ayat (1 ),dan Pasal15 ayat (4) dikenakan sanksi administratif.

Pasal 20

Sanksi administratif sebagaimanq dimaksud dalam Pasal 19 berupa :
a. peringatan tertulis paling banyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX;
b. apabila peringatan sebagaimana dimaksud pad a huruf a tidak diindahkan, dilakukan pembekuan SIUP-B2 selama-Iamanya 3 (tiga) bulan; dan
c. apabila dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak diindahkan, dilakukan pencabutan SIUP-B2 oleh Pejabat pemberi izin sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21


Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bahan Berbahaya dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini.

Pasal 22

(1) Distributor dan Pengecer yang tidak memiliki SIUP-B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan masih menguasai Bahan Berbahaya, diberikan tenggang waktu sampai dengan 1 (satu) bulan sejak Peraturan ini diberlakukan untuk mendistribusikan kepada pengguna akhir sesuai peruntukannya, dan melaporkan kepada Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3);
(2) Apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Distributor dan Pengecer yang masih memiliki Bahan Berbahaya dilarang mendistribusikan atau memindahtangankan kepada pihak lain dan wajib melaporkan persediaan Bahan Berbahaya kepada Gubernur/Gubernur DKI Jakarta atau Bupati/Walikota untuk dicatat keberadaannya.
(3) Gubernur/Gubernur DKI Jakarta dan Bupati/Walikota mengkoordinasikan penyaluran Bahan Berbahaya yang masih dimiliki oleh Distributor dan Pengecer kepada PA-B2, DT-B2, atau kepada PT-B2.

Pasal 23

Gubernur/Gubernur DKI Jakarta dan/atau BupatiNValikota mengkoordinasikan penyaluran Bahan Berbahaya yang masih dikuasai oleh :
a. Distributor atau P_ngecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) kepada DT-B2, PT-B2, atau kepada PA-B2; atau
b. DT-B2, PT-B2, dan PA-B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada DT-B2, PT-B2, atau kepada PA-B2.

Pasal 24

Kepada DT-B2 diberikan tenggang waktu sampai dengan 1 (satu) tahun sejak Peraturan ini diberlakukan untuk menyesuaikan kemasan, label serta Lembar Data Keamanan dari Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Peraturan ini.

BAB X
PENUTUP
Pasal 25

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di J A K A R T A
pada tanggai :16 Pebruari 2006

MENTERI PERDAGANGAN R.I.
ttd
MARl ELKA PANGESTU


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 1999
TENTANG
LABEL DAN IKLAN PANGAN
UMUM

Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan penting pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang pangan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Salah satu upaya untuk mencapai tertib pengaturan di bidang pangan adalah melalui pengaturan di bidang label dan iklan pangan, yang dalam prakteknya selama ini belum memperoleh pengaturan sebagaimana mestinya.

Banyaknya pangan yang beredar di masyarakat tanpa mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label dinilai sudah meresahkan. Perdagangan pangan yang kedaluwarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui iklan. Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.

Dalam hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.

Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Persaingan dalam perdagangan pangan diatur supaya pihak yang memproduksi pangan dan pengusaha iklan diwajibkan untuk membuat iklan secara benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui pencantuman label dan iklan pangan yang harus memuat keterangan mengenai pangan dengan jujur.

Pemerintah menyadari perkembangan teknologi pangan sangat berpengaruh terhadap pelabelan pangan. Perkembangan tersebut tidak mungkin dicakupi secara keseluruhan melalui Peraturan Pemerintah ini. Namun, hal itu tidak mungkin pula untuk dikesampingkan tanpa membuka peluang untuk pengaturan lebih lanjut. Dalam kondisi yang demikian, Peraturan Pemerintah ini sekaligus memerintahkan kepada instansi terkait untuk mengaturnya manakala diperlukan. Sudah barang tentu pengaturannya disesuaikan dengan lingkup tugas dan kewenangan yang melekat pada instansi yang bersangkutan.

Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui label dan atau iklan pangan, namun perlindungan secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat.

Masyarakat Islam merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia yang secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi melalui pengaturan halal.

Bagaimanapun juga, kepentingan agama atau kepercayaan lainnya tetap dilindungi melalui tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.

Selain daripada keterangan-keterangan yang wajib dimuat pada label sebagaimana diinginkan oleh Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, diatur juga hal-hal lain yang sekiranya dapat diinformasikan kepada masyarakat. Untuk menampung pengaturan tersebut maka pokok-pokok yang mendasari pengaturan yang berkaitan dengan label tentang nutrisi atau gizi bagi kepentingan kelompok masyarakat tertentu diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini. Pengaturan selanjutnya diserahkan kepada Menteri Kesehatan yang lebih memahami tentang aspek kesehatan masyarakat, termasuk akibat sampingan pangan tertentu terhadap kesehatan kelompok masyarakat tertentu.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengaruh pangan yang dikonsumsi terhadap kesehatan manusia perlu diwaspadai. Oleh karena itu, iklan tentang pangan perlu secara khusus diatur dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya melalui Peraturan Pemerintah ini. Penggunaan anak-anak berusia di bawah lima tahun secara tegas dilarang untuk mengiklankan pangan yang tidak secara khusus ditujukan untuk konsumsi oleh mereka. Larangan ini sangat diperlukan untuk menghindarkan anak-anak terhadap pengaruh iklan yang bersifat negatif atau menyesatkan yang secara mudah diterima oleh anak-anak yang secara alamiah belum mampu membedakan hal-hal yang baik atau yang buruk.

Peraturan Pemerintah ini mewajibkan agar label ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan atau huruf Latin. Ketentuan ini berlaku mengikat tidak hanya terhadap pangan yang diproduksi di dalam negeri, namun berlaku juga terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan. Tujuan pengaturan ini dimaksudkan agar informasi tentang pangan dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di kota maupun di desa-desa.

Dengan tidak mengesampingkan pengaturan yang sudah ada dalam lingkungan Undang-undang yang mengatur tentang Kesehatan, maka Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan merupakan pelengkap terhadap pengaturan yang sudah ada. Tujuan daripada pengaturan tersebut adalah untuk lebih memperkuat jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang mengkonsumsi pangan.

Pada akhirnya, keterpaduan tugas di bidang pengawasan dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sangat tergantung pada kemampuan aparatur negara untuk menghindari timbulnya ekses yang tidak diharapkan.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 4
Yang dimaksud dengan "pangan olahan tertentu" dalam ketentuan ini adalah pangan olahan untuk komsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya susu formula untuk bayi, pangan yang diperuntukan bagi ibu hamil atau menyusui, pangan khusus bagi penderita penyakit tertentu, atau pangan lain sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kualitas kesehatan manusia.

Pasal 5
Ayat (1)
Keterangan tidak benar adalah suatu keterangan yang isinya bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan.
Keterangan yang menyesatkan adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat atau keamanan pangan yang meskipun benar dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pernyataan (klaim) tentang manfaat kesehatan di dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pernyataan bahwa produk pangan tertentu mengandung zat gizi dan atau zat non gizi tertentu yang bermanfaat jika dikonsumsi atau tidak boleh dikonsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun, kelompok lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, dan sebagainya.
Yang dimaksud bahwa pernyataan tersebut hanya dapat dicantumkan pada label atau iklan apabila secara ilmiah hal tersebut dapat dipertanggung-jawabkan adalah, antara lain melalui uji laboratorium atau uji klinis.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 7
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pangan yang berdasarkan fakta ilmiah bermanfaat bagi kesehatan, tidak boleh diiklankan sebagai obat.

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram).

Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan demikian juga untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama.
Ayat (2)
Lembaga keagamaan dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan "bagian utama label pangan " adalah bagian dari label yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen.

Pasal 13
Ayat (1)
Selain ketiga keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan ini, maka keterangan tentang halal dapat dicantumkan pada bagian utama label pangan, agar mudah dilihat dan diketahui oleh masyarakat yang akan membelinya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia, harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dengan perkembangan teknologi di bidang pangan maka terdapat produk pangan tertentu yang tidak atau belum memiliki nama produk, misalnya makanan ringan yang dikenal dengan istilah snacks seperti chiki, tazzos, dan lain-lain. Oleh karena itu cukup dicantumkan nama jenis produk pangan yang bersangkutan, seperti makanan ringan.

Ketentuan ini hanya mengijinkan penggunaan bahasa asing secara terbatas, yaitu dalam hal tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Dengan mencantumkan jumlah air yang digunakan sebagai campuran suatu produk pangan maka setiap orang yang akan mengkonsumsi pangan dapat mengetahui jumlah berat bersih pangan yang bersangkutan

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 21
Penggunaan kata "tidak menyesatkan" dimaksudkan karena meskipun pengkayaan atau penambahan vitamin, mineral atau zat gizi benar dilakukan pada saat pengolahan, tetapi pencantuman pernyataan atas pengkayaan tersebut masih mungkin tetap dapat menyesatkan misalnya dalam hal untuk jenis pangan yang bersangkutan karena pola pengkomsumsiannya, pengkayaan tersebut tidak membawa manfaat apapun bagi konsumen kecuali manfaat komersial yang diperoleh produsen.

Pasal 22
Ayat (1)
Pencantuman nama golongan Bahan Tambahan Pangan diperlukan agar setiap orang yang mengkonsumsi pangan secara jelas dapat mengetahui jenis-jenis Bahan Tambahan Pangan yang dipergunakan.

Ayat (2)
Kewajiban untuk mencantumkan nomor kode internasional memudahkan bagi setiap orang yang memproduksi ataupun mengkonsumsi pangan tertentu sekaligus memudahkan pengawasannya.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Yang dimaksudkan dengan berat bersih setelah dikurangi medium cair adalah berat bersih pangan dalam keadaan tidak dicampuri air (berat setelah ditiris).

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh informasi tentang produsen asal maupun importir pangan yang bersangkutan di Indonesia.

Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh informasi yang lengkap, yaitu baik importir maupun distributor pangan yang bersangkutan.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Meskipun keterangan yang digunakan adalah kata "baik digunakan sebelum", namun hal ini tidak mengurangi makna ketentuan yang menyatakan tentang larangan memperdagangkan pangan yang melampui saat kadaluwarsanya.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Nomor Pendaftaran Pangan adalah nomor yang diberikan bagi pangan olahan yang dimaksud dalam ketentuan ini dalam rangka peredaran pangan.

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "riwayat produksi" adalah penjelasan mengenai waktu produksi atau rangkaian mata rantai produksi.

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan jumlah keseluruhan hanya berlaku untuk kalori, lemak dan karbohidrat. Untuk kalori artinya kalori total yang berasal dari lemak, protein dan karbohidrat. Untuk lemak artinya lemak total, sedangkan untuk karbohidrat artinya karbohidrat total.

Ayat (3)
Angka kecukupan gizi atau dikenal dengan istilah Recomended Dietary Allowance of Nutrients merupakan pengertian di bidang gizi yang dianut di Indonesia, yang mendasarkan perhitungannya sesuai dengan pola konsumsi pangan dan kebutuhan gizi manusia Indonesia sendiri, yang dalam hal ini tidak sama dengan yang berlaku di negara-negara lain karena adanya perbedaan geografis, pola makan, dan lain-lain.

Pasal 33
Ayat (1)
Ayat ini melarang pencantuman pernyataan pada label pangan bahwa sesuatu pangan merupakan sumber sesuatu zat gizi tertentu, kecuali bila jumlah zat gizi dalam pangan tersebut sekurang-kurangnya 10% dari jumlah zat gizi harian yang dianjurkan dalam satu takaran saji. Ketentuan mengenai jumlah minimal dari suatu zat gizi yang diijinkan diatur di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam hal belum ada pengaturannya maka Menteri Kesehatan berwenang untuk menetapkan kadar minimal yang wajib dipenuhi dalam produksi pangan tertentu.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dengan ketentuan ini tulisan PANGAN IRADIASI tidak perlu dicantumkan pada produk tersebut, melainkan cukup dengan keterangan pada bahan yang digunakan itu saja bahwa bahan yang digunakan tersebut telah mengalami perlakuan diiradiasi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dengan ketentuan ini tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA tidak perlu dicantumkan pada produk tersebut, melainkan cukup dengan keterangan pada bahan yang digunakan itu saja bahwa bahan yang digunakan tersebut merupakan pangan hasil rekayasa genetika.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Pencantuman keterangan tentang tata cara penyiapan dan atau penggunaan pangan olahan perlu dilakukan secara jelas dan mudah dimengerti, khususnya mengenai tata urutannya, agar pangan yang bersangkutan dapat dikonsumsi sesuai dengan tujuannya, serta untuk menghindari adanya kesalahan dalam penyiapannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 40
Informasi tentang cara penyimpanan sangat diperlukan bagi konsumen, karena kekeliruan pada cara penyimpanan dapat mempercepat penurunan mutu pangan atau membuat pangan tertentu tersebut cepat rusak, misalnya untuk pangan yang harus disimpan di tempat yang sejuk akan mengalami penurunan mutu apabila tidak disimpan di dalam lemari es, atau tidak disimpan di tempat yang sejuk.

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Peraturan pelaksanaan tersebut, antara lain mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Pangan yang mengandung bahan tambahan pangan golongan anti oksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat rasa harus dicantumkan pula nama bahan tambahan pangan, dan nomor indek khusus untuk pewarna;
2. Peringatan misalnya konsumsi berlebihan mempunyai efek laksatif; untuk pemanis buatan aspartam mencantumkan peringatan Fenilketonurik : mengandung fenilalanin; pada label sediaan pemanis buatan dan pangan yang mengandung pemanis buatan mencantumkan tulisan yang menyatakan bahwa pangan tersebut untuk penderita diabetes dan atau orang yang membutuhkan pangan yang berkalori rendah;
3. Untuk sediaan pemanis buatan kesetaraan kemanisan dibandingkan dengan gula;
4. Tulisan mengandung gula dan pemanis buatan, jika pangan tersebut selain mengandung pemanis buatan juga mengandung gula.

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud "produk pangan lainnya" adalah produk pangan yang diperdagangkan dengan merek dagang. Larangan mendiskreditkan produk lain bertujuan agar konsumen mempunyai kebebasan memilih berdasarkan pengetahuannya sendiri terhadap suatu produk pangan tanpa dipengaruhi oleh iklan yang bersifat mendiskreditkan produk lain sejenis.

Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengeksploitasian anak dalam iklan pangan, khususnya yang semata-mata menampilkan anak-anak di bawah lima tahun namun bukan untuk pangan yang khusus anak-anak kelompok usia tersebut.
Dalam konteks iklan pangan tersebut, dapat saja menampilkan anak-anak berusia di bawah lima tahun, namun ditampilkan dalam suatu konteks yang lebih luas, misalnya bersama keluarga.

Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah meluasnya konsumsi pangan olahan tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi, misalnya monosodium glutamat (MSG), gula, lemak atau karbohidrat, yang dapat membahayakan atau mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak.

Ayat (4)
Persetujuan Menteri Kesehatan yang dimaksud dalam ayat ini hanya merupakan persetujuan bagi materi iklan, agar dapat lebih terseleksi mengenai penyebarluasan informasi mengenai pangan yang diperuntukkan bagi bayi, dan semata-mata dilakukan untuk lebih meningkatkan penggunaan Air Susu Ibu.
Yang dimaksud dengan pangan yang diperuntukkan bagi bayi adalah susu bayi, namun tidak termasuk makanan pendamping ASI seperti bubur bayi.

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pangan yang diperlukan bagi bayi dalam ketentuan ini adalah makanan pendamping ASI seperti bubur bayi, namun tidak termasuk pangan pengganti Air Susu Ibu yang lazim disebut susu formula bayi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Pangan berbeda dengan obat dan masing-masing mempunyai karakter yang spesifik, yaitu pangan tidak menyembuhkan sedangkan obat untuk penyembuhan. Pangan tidak dapat berfungsi sebagai obat, sehingga mengiklankan pangan sebagai obat merupakan perbuatan yang menipu konsumen.

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol (C2H5OH) yang dapat diperdagangkan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 59
Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini adalah dalam hal mengawasi kesesuaian atau pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah dengan keterangan atau pernyataan dalam Label dan Iklan yang beredar di masyarakat.

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Huruf a
Pengecualian ini dimaksudkan hanya bagi produk pangan yang kemasannya terlalu kecil, sehingga secara teknis sulit memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana berlaku bagi produk pangan lainnya, yang lazimnya oleh pihak yang memproduksi pangan yang bersangkutan, pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih besar yang memungkinkan untuk memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Selain itu, dalam produk pangan yang dikemas dalam bentuk yang sangat kecil tersebut tetap perlu dimuat nama dan alamat pihak yang memproduksinya.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan pangan dalam jumlah besar (curah) adalah pangan yang dikemas dalam wadah, sehingga volume bersih pangan yang bersangkutan lebih dari 500 liter atau berat bersih pangan yang bersangkutan lebih dari 500 kilogram.

Pasal 64
Cukup jelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar